Tanjung Jabung Timur, Merinding.net – Aksi demonstrasi siswa di SMAN 4 Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, pada Senin (13/10/2025) dan Rabu (15/10/2025) berbuntut panjang. Dua oknum guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) berinisial EH dan JS resmi dilaporkan oleh Syamsul Huda, pegawai sekolah yang merasa dirugikan, ke lima instansi sekaligus karena diduga kuat memprovokasi siswa untuk melakukan aksi demonstrasi di lingkungan sekolah.
Dilaporkan ke Lima Instansi Sekaligus. Melalui Kantor Hukum SIJ Law Firm, Syamsul Huda melayangkan laporan resmi ke sejumlah instansi antara lain:
- Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) c.q. Bidang Pengawasan Kode Etik dan Disiplin ASN (Nomor: 06/LP-SIJ/20/10/2025);
- Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) Provinsi Jambi di bawah PGRI Provinsi Jambi (Nomor: 06/LP-SIJ/20/10/2025);
- Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi (Nomor: 08/LP-SIJ/20/10/2025);
- dan Gubernur Provinsi Jambi (Nomor: 09/LP-SIJ/20/10/2025).
Dalam surat laporannya, Syamsul menilai kedua oknum guru tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum, pelanggaran disiplin ASN/PPPK, serta pelanggaran kode etik guru.
Berdasarkan bukti rekaman suara dan tangkapan layar dari media sosial TikTok, Facebook, dan Instagram, kedua guru tersebut diduga mengajak dan memprovokasi siswa untuk ikut aksi demonstrasi di sekolah.
Unggahan mereka berisi ajakan dan ujaran yang dinilai tidak pantas serta merendahkan martabat sekolah dan pegawai lainnya.
Padahal, pelibatan anak dalam aksi semacam itu jelas melanggar hukum, sebagaimana diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002),
- UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan
- Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child – CRC) yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh dilibatkan dalam kegiatan politik, demonstrasi, maupun kegiatan yang berpotensi membahayakan dirinya.
Aksi Demo Kedua Semakin Ricuh
Laporan juga menyebut, pada Rabu (15/10/2025) sekitar pukul 11.00 WIB, terjadi aksi lanjutan oleh siswa dengan jumlah lebih besar. Dalam aksi tersebut, terdengar yel-yel dan terlihat poster bertuliskan “Huda Out”, serta teriakan “Huda maling” dan “penjilat”.
Syamsul menilai tindakan itu telah mencemarkan nama baiknya dan mengganggu ketertiban sekolah.
Akibatnya, peristiwa tersebut menjadi viral di media sosial dan media massa, hingga mencoreng nama baik sekolah dan dunia pendidikan.
Diberhentikan Tanpa Proses yang Sah
Beberapa hari setelah aksi tersebut, tepatnya Sabtu (18/10/2025), Syamsul Huda mengaku menerima surat pemberhentian dari pihak sekolah tanpa ada proses evaluasi kinerja maupun pembelaan diri.
Ia menilai keputusan itu tidak adil dan melanggar hak asasi manusia karena tidak sesuai mekanisme yang berlaku.
Penasihat hukum Syamsul Huda, Advokat Sahroni, S.H., M.H. dari SIJ Law Firm, menyatakan bahwa selain laporan etik ke lima instansi, pihaknya juga menyiapkan laporan pidana ke aparat penegak hukum.
“Setelah kami pelajari, terdapat unsur perbuatan melawan hukum berupa ajakan demonstrasi kepada anak di bawah umur, yang jelas dilarang oleh undang-undang. Karena itu kami akan segera membuat laporan resmi ke Polres Tanjung Jabung Timur,” ujar Sahroni kepada Merinding.net, Senin (20/10/2025).
Ia menegaskan, pihaknya akan mengawal kasus ini baik dari sisi etik maupun pidana, agar prosesnya transparan dan berkeadilan.
“Kalau nanti lembaga etik menyatakan terlapor tidak bersalah, publik harus tahu alasannya secara terbuka agar tidak menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan,” tegasnya.
Tindakan yang diduga dilakukan oleh dua guru PPPK tersebut dinilai melanggar ketentuan dalam:
- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang juga berlaku bagi PPPK sesuai Pasal 40 PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK;
- Pasal 5 huruf a, b, dan f PP 94/2021 yang menegaskan kewajiban menjaga martabat ASN, menjunjung tinggi kehormatan negara dan pemerintahan, serta menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Pasal 10 dan Pasal 11 PP 94/2021 yang melarang ASN melakukan tindakan yang dapat mencemarkan nama baik instansi atau pejabat pemerintah.
Dengan demikian, dugaan provokasi terhadap siswa untuk demonstrasi termasuk pelanggaran disiplin berat, yang bisa berujung pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
Selain itu, kedua guru PPPK tersebut juga terikat pada Kode Etik Guru Indonesia, sebagaimana diatur oleh:
- Peraturan Organisasi PGRI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik Guru Indonesia,
- serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Kode etik tersebut menegaskan bahwa guru wajib menjunjung tinggi martabat profesi, memelihara hubungan baik dengan peserta didik, dan tidak boleh melakukan tindakan yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi guru.
Syamsul menilai, seharusnya kedua oknum guru tidak langsung menggerakkan siswa, melainkan menempuh jalur pengaduan berjenjang, seperti melapor ke kepala sekolah, dinas pendidikan, PGRI, komite sekolah, dan inspektorat.
“Guru adalah panutan, bukan provokator. Mengabaikan tahapan itu adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap pimpinan dan pembina,” ujar Syamsul.
Jurnalis Merinding.net telah berupaya menghubungi dua oknum guru berinisial EH dan JS untuk mendapatkan tanggapan, namun hingga berita ini diterbitkan, keduanya belum memberikan klarifikasi resmi.
Redaksi Merinding.net tetap membuka ruang hak jawab dan klarifikasi seluas-luasnya agar pemberitaan ini tetap berimbang dan objektif.










